Beberapa hari ini media menyuguhkan berita pertumbuhan ekonomi. Mengutip
Badan Pusat Statistik, perekonomian Indonesia pada kuartal ketiga tahun
ini dilaporkan tumbuh 6,5 persen dibanding periode sama tahun lalu.
Apakah ini indikasi bahwa tingkat kesejahteraan warga juga tumbuh
seiring?
Belum tentu. Bahkan banyak pengamat yang mengkritik
bahwa pertumbuhan ekonomi kita belum berkualitas. Dalilnya, kemiskinan
dan pengangguran masih terasa begitu sesak.
Kita ketahui bersama,
pertumbuhan domestik bruto atau PDB yang diumumkan itu sekadar mengukur
aktivitas perekonomian. Indikator yang digunakan adalah konsumsi
masyarakat, kegiatan ekspor-impor, belanja pemerintah, dan investasi
swasta.
Untuk Indonesia, faktor konsumsi masih dominan mempengaruhi pertumbuhan.
Konsumsi
tersebut bukan hanya terhadap produksi domestik, tapi juga impor.
Departemen Perindustrian mencatat, sepanjang Januari-Juni tahun ini,
kenaikan konsumsi impor lebih dari 38 persen dibanding periode yang sama
tahun lalu. Berarti, yang menikmati produsen asing.
Perlu
dicatat, kenaikan konsumsi (juga sektor jasa) tidak banyak berpengaruh
terhadap peningkatan partisipasi kerja. Apalagi menurunkan angka
kemiskinan. Hingga kini, masih lebih dari 37 juta jiwa belum
berpartisipasi di sektor formal. Mereka jadi pengangguran, pekerja paruh
waktu, dan menggerakan sektor informal.
Sadisnya, kerap
performa angka pertumbuhan ekonomi dijadikan “alat” mengukur
keberhasilan baik oleh pemerintah maupun politisi. Padahal, akibat
aktivitas ekonomi yang kebablasan – katakanlah seperti pertambangan dan
perkebunan yang sering dikritik merusak lingkungan – justru rakyat yang
harus menanggung “sampah” dari kegiatan ekonomi tersebut.
Tak
kurang dari Presiden Perancis Nicolas Sarkozy gundah dengan ukuran
pertumbuhan ekonomi yang jadi jualan pemerintah dan politisi ini. Untuk
menguji kegelisahannya, pada tahun 2008 Sarkozy membuat sebuah panel
para ekonom untuk membahasnya.
Panel dipimpin dua pemenang Nobel
di bidang ekonomi: Joseph E. Stiglitz dari Columbia University dan
Amartya Sen dari Harvard University. Kesimpulannya, PDB tidak cukup
untuk mengukur tingkat kesejahteraan warga, yang sejatinya menjadi
tujuan utama pembangunan. Bahkan kerap, antara angka pertumbuhan ekonomi
dengan realitas kehidupan warga saling bertolak belakang.
Walau
Stiglitz menyadari untuk mengubahnya tidak cukup satu malam, toh
Sarkozy sudah memiliki kesadaran. Yakni, perlunya memasukkan unsur
kualitas hidup warga dan kelestarian lingkungan hidup dalam mengukur
tingkat kesejahteraan. Bukan sekadar statistik pertumbuhan ekonomi.
Ketidakpuasan
juga telah lama menggelayut di benak Raja Buthan Jigme Singye
Wangchuck. Walau data Bank Dunia per 2010 memperlihatkan pendapatan per
kapita penduduknya di kisaran USD 2.000-an seperti Indonesia, toh dia
masih gamang. Keresahannya lantaran menganggap angka pertumbuhan ekonomi
tidak mencerminkan kualitas kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Karena
itu, pada tahun 1972 (kini mantan) raja beristri empat ini mencetuskan
Indeks Kebahagiaan atau Gross National Happiness alias GNH. Ukuran ini
menjadi kritik terhadap PDB sebagai ukuran keberhasilan pembangunan.
Indeks
ini, selain mengukur distribusi pendapatan warganya – yang di Indonesia
sangat timpang, di antaranya juga mengukur kebebasan individu dalam
politik, tingkat partisipasi kerja, kenyamanan sosial, pelestarian
lingkungan.
Karena itu, akan sangat bijak seandainya Indonesia,
negeri yang banyak diisi orang-orang pintar ini, memasukkan ukuran
kesejahteraan warga sebagai indikator keberhasilan pemerintah. Dan
keberhasilan pembangunan dengan performa statistik pertumbuhan ekonomi,
tidak lagi perlu diiklankan dalam kampanye.
Apalagi, data lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi program pembangunan (UNDP)
menyebutkan, indeks pembangunan manusia Indonesia masih di kelompok
buncit. Dengan ukuran kualitas layanan kesehatan, pendidikan, dan
pendapatan itu, tahun ini ada di posisi 124 dari 187 negara. Sementara
tahun lalu peringkatnya 108 dari 169 negara.
Mungkin kualitas pemerintah yang sudah lumayan adalah layanan bagi-bagi kekuasaan. Sayangnya, bagian ini tidak disurvei UNDP.
Herry
Gunawan jadi wartawan pada 1993 hingga awal 2008. Sempat jadi konsultan
untuk kajian risiko berbisnis di Indonesia, kini kegiatannya riset,
sekolah, serta menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar