Setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, argumen lama tentang paradigma kualitas pertumbuhan ekonomi (The Quality of Growth) kembali mengemuka. Argumen kualitas pertumbuhan yang dilahirkan para ekonom neoklasik adalah salah satu dari cabang pemikiran pemerataan pembangunan, bahwa pembangunan ekonomi bukan hanya untuk mengejar angka atau target-target kuantitatif semata. Pembangunan ekonomi perlu bervisi jauh ke depan untuk menyebar-ratakan hasil-hasil pembangunan ekonomi kepada segenap lapisan masyarkat, dari golongan kaya ke golongan miskin, dari pusat ke daerah, dari tengah ke pinggiran, dari perkotaan ke perdesaan, dari sektor modern ke sektor tradisional, dan sebagainya. Argumen kualitas pertumbuhan juga mengedepankan penguatan akses bagi kelompok miskin dan marginal kepada sumber daya ekonomi. Singkatnya, argumen kualitas pertumbuhan ini juga sangat peduli terhadap pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja serta penciptaan lapangan kerja baru. Inilah yang disebut pembangunan ekonomi berkualitas.
Secara kuantitatif ekonomi makro, kinerja satu tahun Pemerintahan SBY-Boediono atau sebenarnya enam tahun Presiden SBY, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh di atas 6 persen per tahun pada 2010. Kinerja itu sebenarnya cukup tinggi mengingat pada 2009 ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,5 persen per tahun. Namun, pengikut argumen kualitas pertumbuhan tak terlalu puas dengan kinerja seperti itu karena mereka berfikir pertumbuhan sekitar 6 persen belum mampu menyerap pertambahan angkatan kerja 2 juta per tahun. Argumen mereka perekonomian yang masih mengandalkan sektor konsumsi (68 persen) akan sulit berkontribusi pada pembangunan sektor produktif yang menyerap tenaga kerja dan menciptakan tenaga kerja baru. Kobtribusi komponen investasi tercatat hanya 30,6 persen, sedangkan komponen ekspor 23,3 persen. Postur pertumbuhan ekonomi seperti dialami Indonesia saat ini sekaligus mampu menjelaskan bahwa proses penciptaan lapangan kerja baru dan pengentasan kemiskinan tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
Terlepas apakah argumen kualitas pertumbuhan ekonomi dapat diandalkan atau tidak, potret penurunan angka kemiskinan 2010 yang diumumkan pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) seakan tak memiliki banyak arti secara ekonomi (dan politik). Angka total penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tahun ini memang turun menjadi 31 juta jiwa (13,3 persen), dari 2009 sebesar 32,6 juta jiwa (14,2 persen). Garis kemiskinan yang digunakan juga telah dinaikkan dari Rp 200.262 menjadi Rp 211.726 per bulan dengan proksi pengeluaran rumah tangga. Kelompok masyarakat menengah atas di kota-kota besar terkadang terheran-heran dengan garis kemiskinan itu, karena bagi mereka, angka itu tidak ubahnya dengan pengeluaran sekali minum kopi dan makanan ringan di hotel berbintang. Garis kemiskinan itu sebenarnya cukup rendah, karena setara dengan 78 sen dollar AS per hari, atau lebih rendah dibandingkan satu dollar per hari sebagaimana strandar internasional.
Secara mikro, potret angka kemiskinan tahun ini menjadi berita sedih, khususnya bagi sektor pertanian dan pedesaan, karena persentase angka kemiskinan di pedesaan meningkat, dari 63,4 persen pada 2009 menjadi 64,2 persen pada 2010. Peningkatan kemiskinan di pedesaan ini seharusnya ”kartu kuning” bagi para pemimpin yang masih berupaya bermain dengan retorika dan semantik politik pencitraan yang tidak berujung. Dengan membesarnya angka kemiskinan di pedesaan, dapat disimpulkan pembangunan pertanian saat ini boleh disebut gagal. Masyarakat juga tidak habis pikir karena secara politis, masa administrasi kedua pemerintahan SBY, kata-kata manis revitalisasi pertanian, tidak pernah disampaikan secara eksplisit, seperti pada masa administrasi pertama periode 2004-2009. Maknanya, beberapa pernyataan pejabat negara tentang keberhasilan pencapaian swasembada beras dan sekian macam laporan peningkatan produksi pangan nyaris tidak berarti apa-apa karena pembangunan pertanian tidak membawa perbaikan kesejahteraan petani, atau tidak memberikan nilai tambah yang dinikmati masyarakat desa. Apalagi, jika pernyataan surplus beras yang disampaikan pejabat seakan mendapat tamparan keras dari kepastian untuk impor beras 300 ribu ton, walaupun berkali-kali disampaikan alasan untuk menjaga cadangan pangan, tidak akan bocor ke pasar domestik, dan sebagainya.
****
Secara umum, masyarakat awam akan sangat paham bila tidak terjadi peningkatan modal investasi dan modal kerja, maka kapasitas produksi di dalam negeri juga ikut mengecil. Ujungnya upaya menyerap tambahan tenaga kerja ikut terganggu. Dampak berikutnya industri akan mengurangi jam kerja dan jumlah pekerja, sehingga jumlah lapangan kerja berkurang, atau dengan kata lain industri tidak akan mampu menyerap dan menciptakan lapangan kerja baru. Ketika pada beberapa bulan terakhir muncul fenomena industri hilir pada sektor pertanian dan basis sumber daya alam lain banyak yang dialihkan ke luar negeri, perekonomian tidak akan mampu menciptakan lapangan kerja baru. Demikian pula, struktur produksi yang masih mengandalkan bahan baku impor akan sulit membawa dampak berganda bagi upaya peningkatan produktivitas dan kreativitas sistem produksi domestik. Sangat mungkin pasokan produk lokal ke pasar domestik juga menurun, suatu indikator bahwa upaya pengentasan kemiskinan dari sisi produktif masih terkendala persoalan struktural di dalam domestik ekonomi Indonesia.
Peningkatan kemiskinan di pedesaan sangat berhubungan dengan fenomena penurunan produktivitas di sektor pertanian, terutama pada dekade terakhir. Ukuran produktivitas pertanian biasanya terdiri dari produktivitas lahan (produksi pangan per areal panen) dan produktivitas tenaga kerja (produksi pangan per jumlah tenaga kerja). Penurunan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian (baca: peningkatan kemiskinan) secara langsung dan tidak langsung juga ditentukan produktivitas lahan pertanian. Pada kesempatan lain, penulis pernah menyampaikan bahwa sejak otonomi daerah diberlakukan pada 2001, produktivitas lahan pertanian kini hanya 2,2 ton pangan ekuivalen per hektare. Pada dekade 1980-an, produktivitas lahan tercatat 5,6 ton per hektare. Produktivitas tenaga kerja pertanian kini hanya 2 ton pangan ekuivalen per tenaga kerja, yang merupakan penurunan sangat signifikan dari angka produktivitas pada dekade 1980-an yang tercatat 4,1 ton pangan per tenaga kerja (Arifin, 2010).
Saat ini, pertambahan produktivitas pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai masih mengandalkan peningkatan areal panen dan intensitas pertanaman, yang tentu sangat bergantung pada faktor musim. Hal ini terjadi karena upaya perbaikan sarana irigasi, drainase, dan infrastruktur lain yang menjadi sumber peningkatan produktivitas masih bermasalah. Perbaikan teknik budidaya, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit masih sangat terkait ketersediaan dan manajemen pemakaian air. Berkurangnya areal panen padi dan kedelai tahun ini sangat berhubungan dengan musim kemarau basah, karena perubahan iklim masih sulit dijinakkan. Maksudnya, fokus peningkatan produktivitas pangan yang tradisional dan terkesan seadanya sulit diharapkan membawa hasil spektakuler.
****
Salah satu strategi untuk menggenjot peningkatan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan adalah dengan inovasi teknologi, termasuk basis bioteknologi seperti telah dijelaskan pada editorial sebelumnya. Strategi lain adalah fokus pada penurun persentase kemiskinan di pedesaan melalui industrialisasi pertanian dan pembangunan pedesaan. Tidak ada pembangunan pertanian tanpa pembangunan pedesaan atau peningkatan nilai tambah di pedesaan. Aktivitas industrialisasi pertanian atau agro-industri pertanian merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang mengarah pada pembangunan nilai tambah di pedesaan. Pilihan strategi industrialisasi pertanian cukup banyak, tergantung pada kondisi pemungkin (enabling condition) yang tersedia di pedesaan dan kebijakan pendukung yan ditempuh oleh administrasi pemerintahan yang berkuasa.
Pembangunan pedesaan yang dirangsang oleh agroindustri dengan pertimbangan sumber daya di pedesaan lebih banyak menunjang produksi pertanian, karena mengandalkan lahan dan tenaga kerja. Sumber daya pedesaan ini umumnya lebih terampil dalam hal usaha tani di hulu, tapi tidak terlalu terampil dalam produksi manufaktur di hilir. Maksudnya industrialisasi pertanian yang difokuskan pada daerah pedesaan akan merangsang peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan dan pembangunan pedesaan umumnya. Di sini ditekankan pentingnya keterkaitan ke depan dan ke belakang dari suatu proses industrialisasi, yang akan berakumulasi menghasilkan nilai tambah yang cukup besar. Kelemahan utama strategi industrialisasi ini adalah ketergantungan terhadap dukungan infrastruktur, investasi dan pendanaan aktivitas ekonomi, sehingga masih terlalu mengandalkan dominasi peran pemerintah.
Pemerintah perlu secara sistematis memfokuskan investasi ekonomi produktif di pedesaan untuk menciptakan daya dorong pembangunan yang menekankan pada pentingnya peningkatan produktivitas dan daya beli kaum miskin dan berfungsi sebagai gelombang pendorong bagi golongan kaya. Analogi yang sama diunakan untuk menggambarkan daya dorong pembangunan pedesaan (atau daerah secara umum) bagi pembangunan di daerah perkotaan (atau pusat aktivitas ekonomi dan kekuasaan). Prinsip industrialisasi di sini perlu memprioritaskan perhatian pada golongan miskin dan daerah pedesaan, bukan golongan kaya dan daerah perkotaan. Kelemahan strategi supply-push ini selain karena terlalu statis dan tidak memanfaatkan peluang pasar dan permintaan, juga impresi ketidakberdayaan atau “dorongan keluar” bagi tenaga tidak terampil dari pedesaan ke perkotaan atau dari sektor pertanian ke sektor industri. Tingkat produktivitas tenaga kerja tidak terampil ini jelas berkait erat dengan kecilnya upah buruh dan dikhawatirkan menjadi faktor kunci dalam penciptaan kemiskinan atau kantong-kantong baru kemiskinan di daerah perkotaan.
Akhirnya, faktor keamanan dan kepastian hukum adalah fixed variable yang tidak dapat ditawar lagi dan harus senantiasa menjadi yang terdepan dalam setiap keputusan investasi produktif, apalagi di daerah pedesaan. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus-menerus meningkatkan rasa aman, kepastian usaha, dan kenyamanan berusaha “mengawal” langkah-langkah pembangunan ekonomi di daerah dan kawasan sekitarnya untuk mencapai fixed variable. Falsafah kemitraan tripartit swasta-pemerintah-masyarakat dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan peningkatan nilai tambah, pembenahan daya saing dan pengurangan kemiskinan di pedesaan. Di sinilah, kelak pembangunan ekonomi Indonesia akan meningkat kualitasnya.
Prof. Dr. Bustanul Arifin
Ekonom Senior INDEF, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar