Jumat, 18 November 2011

Memilih Investasi di Saat Krisis

Krisis di depan mata. Perkiraan Bank Indonesia, imbas tahun depan krisis global akan makin terasa. Apalagi sekarang, sudah US$ 4,7 miliar dana asing ditarik keluar.

Setelah lewat saluran pasar keuangan, krisis biasanya akan masuk lewat saluran sektor riil. Lemahnya daya beli di negara mitra dagang Indonesia membuat ekspor kita mengalami hambatan. Berarti, Indonesia sedang menanti datangnya efek negatif lebih dalam dari krisis yang sedang terjadi di kawasan global.

Bagaimana menyikapinya?
Ada nasihat klasik yang tak ada ruginya jika dijalankan. Yakni, sikapi situasi dengan tenang. Mulailah menghitung langkah apa yang harus dilakukan dengan tepat. Yang terpenting, amankan nilai aset atau uang dalam genggaman sekarang.

Persiapan diawali dengan mulai menghitung nilai uang sekarang (present value) dan nilai uang akan datang (future value), yang sudah menjadi rumus umum. Simulasinya seperti ini:

Asumsikan saat ini ada uang lebih di tabungan sebesar Rp 5.000.000. Katakanlah inflasi tahun depan sama dengan tahun ini yaitu 6 persen (0,06).  Jika tidak diinvestasikan, tahun depan nilai dana tersebut setara dengan nominal uang sekarang dikurangi nilai inflasi. Hasilnya adalah Rp 4.700.000.

Seandainya diinvestasikan, pertama-tama yang harus dihitung adalah nilai uang sekarang yang dipengaruhi oleh suku bunga, atau bahasa lainnya biaya memegang uang. Katakanlah suku bunga yang ditawarkan atau berlaku 10 persen.

Nilai uang sekarang atau yang biasa disebut present value adalah nominal uang sekarang atau Rp 5.000.000 dikalikan dengan 1,1 (1 ditambah suku bunga:  0,1). Hasilnya: Rp 4.454.455. Sedangkan untuk mencari nilai mendatang atau future value, maka present value dikalikan dengan 1,1. Hasilnya, Rp 5.000.000, walaupun secara nominal besarnya lebih dari itu.

Suku bunga hasil simulasi ini (silakan coba-coba) bisa digunakan sebagai patokan dalam memilih instrument investasi. Intinya, suku bunga yang ditawarkan harus lebih dari suku bunga patokan tersebut. Mari lihat sejumlah instrumennya:

Saham
Instrumen yang satu ini biasanya langsung terimbas negatif jika ada krisis. Pada akhir perdagangan periode 2008 ketika krisis keuangan mencapai puncaknya, indeks harga saham gabungan terkoreksi mencapai 51 persen. Seandainya punya nyali bermain di instrumen ini, sebaiknya diperhatikan sektor-sektor yang memiliki daya tahan lumayan kuat.

Saat ini, industri dengan orientasi domestik cukup kokoh dibandingkan industri lainnya. Sebagai contoh, peternakan, bank, asuransi, rumah tangga, dan pertanian. Sehingga, imbas krisisnya kemungkinan kecil dan yang penting cepat pulih. Namun, industri yang berbasis ekspor seperti pertambangan, sangat rentan mengingat rasio ekspornya sangat tinggi.

Surat utang
Instrumen ini juga layak diperhatikan. Biasanya, pemerintah menerbitkan surat utang untuk menutup kebutuhan kas jangka pendek, membiayai defisit anggaran, atau untuk mengelola portofolio utang negara. Agar menarik, suku bunga yang ditawarkan di atas suku bunga yang berlaku. Investasi ini bebas risiko gagal bayar lantaran penerbitnya adalah negara. Pada tahun 2008, di tengah krisis itu, imbal hasil yang ditawarkan rata-rata di atas 10 persen. Lumayan.

Reksadana
Sebegai instrument moneter, senjata ampuh yang digunakan Bank Indonesia untuk menghadapi tekanan adalah suku bunga. Indikator ini perlu diintip karena potensial memberikan keuntungan melalui reksadana yang ditempatkan di pasar uang.

Emas
Secara agregat tahunan, betul emas memberikan nilai lebih. Walau relatif tahan terhadap gejolak, tingkat keuntungannya tak selalu sesuai harapan. Belajar dari tahun 2008 yang agak mirip dengan sekarang, harga emas di pasar internasional yang dilansir Kitco,  pada tahun itu naik 42 persen (patokan harga awal Januari) dibandingkan tahun sebelumnya. Namun kalau beli Desember 2007 dan jual Desember 2008, nilai lebihnya hanya 5 persen, dari USD 829,00 per troy ounce (sekitar 31 gram) jadi USD 869,75.

Dan pada Januari 2009, turun 0,4 persen dibanding periode sama sebelumnya, atau dari USD 923,25 menjadi USD 919,50. Sementara Desember ke Desember naik 25 persen. Karena itu, agar tetap dapat untung maksimal, perhatikan waktu antara membeli dan rencana menjual.

Hal penting lainnya, jangan tempatkan dana pada satu instrumen investasi seperti menyimpan telur dalam satu keranjang. Sekali jatuh, pecah semua. Sebaiknya tempatkan dana pada beberapa instrumen agar aman atau tidak pada satu emiten di bursa saham.

Perlu juga digunakan patokan besaran dana yang diinvestasikan pada satu instrumen. Dengan nilai “X” rupiah yang dipatok untuk belanja investasi, misalnya pada saham, berarti membeli sedikit di saat naik dan membeli banyak di saat turun. Jangan mudah tergiur.

Namun pada akhirnya, putuskan yang nyaman dan aman bagi Anda.

Herry Gunawan jadi wartawan pada 1993 hingga awal 2008. Sempat jadi konsultan untuk kajian risiko berbisnis di Indonesia, kini kegiatannya riset, sekolah, serta menulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar