Jumat, 18 November 2011

Ironi Pertumbuhan

Beberapa hari ini media menyuguhkan berita pertumbuhan ekonomi. Mengutip Badan Pusat Statistik, perekonomian Indonesia pada kuartal ketiga tahun ini dilaporkan tumbuh 6,5 persen dibanding periode sama tahun lalu. Apakah ini indikasi bahwa tingkat kesejahteraan warga juga tumbuh seiring?

Belum tentu. Bahkan banyak pengamat yang mengkritik bahwa pertumbuhan ekonomi kita belum berkualitas. Dalilnya, kemiskinan dan pengangguran masih terasa begitu sesak.

Kita ketahui bersama, pertumbuhan domestik bruto atau PDB yang diumumkan itu sekadar mengukur aktivitas perekonomian. Indikator yang digunakan adalah konsumsi masyarakat, kegiatan ekspor-impor, belanja pemerintah, dan investasi swasta.

Untuk Indonesia, faktor konsumsi masih dominan mempengaruhi pertumbuhan.

Konsumsi tersebut bukan hanya terhadap produksi domestik, tapi juga impor. Departemen Perindustrian mencatat, sepanjang Januari-Juni tahun ini, kenaikan konsumsi impor lebih dari 38 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Berarti, yang menikmati produsen asing.

Perlu dicatat, kenaikan konsumsi (juga sektor jasa) tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan partisipasi kerja. Apalagi menurunkan angka kemiskinan. Hingga kini, masih lebih dari 37 juta jiwa belum berpartisipasi di sektor formal. Mereka jadi pengangguran, pekerja paruh waktu, dan menggerakan sektor informal.

Sadisnya, kerap performa angka pertumbuhan ekonomi dijadikan “alat” mengukur keberhasilan baik oleh pemerintah maupun politisi. Padahal, akibat aktivitas ekonomi yang kebablasan – katakanlah seperti pertambangan dan perkebunan yang sering dikritik merusak lingkungan – justru rakyat yang harus menanggung “sampah” dari kegiatan ekonomi tersebut.

Tak kurang dari Presiden Perancis Nicolas Sarkozy gundah dengan ukuran pertumbuhan ekonomi yang jadi jualan pemerintah dan politisi ini. Untuk menguji kegelisahannya,  pada tahun 2008 Sarkozy membuat sebuah panel para ekonom untuk membahasnya.

Panel dipimpin dua pemenang Nobel di bidang ekonomi: Joseph E. Stiglitz dari Columbia University dan Amartya Sen dari Harvard University.  Kesimpulannya, PDB tidak cukup untuk mengukur tingkat kesejahteraan warga, yang sejatinya menjadi tujuan utama pembangunan. Bahkan kerap, antara angka pertumbuhan ekonomi dengan realitas kehidupan warga saling bertolak belakang.

Walau Stiglitz menyadari untuk mengubahnya tidak cukup satu malam, toh Sarkozy sudah memiliki kesadaran. Yakni, perlunya memasukkan unsur kualitas hidup warga dan kelestarian lingkungan hidup dalam mengukur tingkat kesejahteraan. Bukan sekadar statistik pertumbuhan ekonomi.

Ketidakpuasan juga telah lama menggelayut di benak Raja Buthan Jigme Singye Wangchuck. Walau data Bank Dunia per 2010 memperlihatkan pendapatan per kapita penduduknya di kisaran USD 2.000-an seperti Indonesia, toh dia masih gamang. Keresahannya lantaran menganggap angka pertumbuhan ekonomi tidak mencerminkan kualitas kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.

Karena itu, pada tahun 1972 (kini mantan) raja beristri empat ini mencetuskan Indeks Kebahagiaan atau Gross National Happiness alias GNH. Ukuran ini menjadi kritik terhadap PDB sebagai ukuran keberhasilan pembangunan.

Indeks ini, selain mengukur distribusi pendapatan warganya – yang di Indonesia sangat timpang, di antaranya juga mengukur  kebebasan individu dalam politik, tingkat partisipasi kerja, kenyamanan sosial, pelestarian lingkungan.

Karena itu, akan sangat bijak seandainya Indonesia, negeri yang banyak diisi orang-orang pintar ini, memasukkan ukuran kesejahteraan warga sebagai indikator keberhasilan pemerintah. Dan keberhasilan pembangunan dengan performa statistik pertumbuhan ekonomi, tidak lagi perlu diiklankan dalam kampanye.

Apalagi, data lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi program pembangunan (UNDP) menyebutkan, indeks pembangunan manusia Indonesia masih di kelompok buncit. Dengan ukuran kualitas layanan kesehatan, pendidikan, dan pendapatan itu, tahun ini ada di posisi 124 dari 187 negara. Sementara tahun lalu peringkatnya 108 dari 169 negara.
Mungkin kualitas pemerintah yang sudah lumayan adalah layanan bagi-bagi kekuasaan. Sayangnya, bagian ini tidak disurvei UNDP.

Herry Gunawan jadi wartawan pada 1993 hingga awal 2008. Sempat jadi konsultan untuk kajian risiko berbisnis di Indonesia, kini kegiatannya riset, sekolah, serta menulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar