Sabtu, 30 Juli 2011

Pembangunan Pedesaan untuk Menunjang Perekonomian

Setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, argumen lama tentang paradigma kualitas pertumbuhan ekonomi (The Quality of Growth) kembali mengemuka. Argumen kualitas pertumbuhan yang dilahirkan para ekonom neoklasik adalah salah satu dari cabang pemikiran pemerataan pembangunan, bahwa pembangunan ekonomi bukan hanya untuk mengejar angka atau target-target kuantitatif semata. Pembangunan ekonomi perlu bervisi jauh ke depan untuk menyebar-ratakan hasil-hasil pembangunan ekonomi kepada segenap lapisan masyarkat, dari golongan kaya ke golongan miskin, dari pusat ke daerah, dari tengah ke pinggiran, dari perkotaan ke perdesaan, dari sektor modern ke sektor tradisional, dan sebagainya. Argumen kualitas pertumbuhan juga mengedepankan penguatan akses bagi kelompok miskin dan marginal kepada sumber daya ekonomi. Singkatnya, argumen kualitas pertumbuhan ini juga sangat peduli terhadap pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja serta penciptaan lapangan kerja baru. Inilah yang disebut pembangunan ekonomi berkualitas.

Secara kuantitatif ekonomi makro, kinerja satu tahun Pemerintahan SBY-Boediono atau sebenarnya enam tahun Presiden SBY, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh di atas 6 persen per tahun pada 2010. Kinerja itu sebenarnya cukup tinggi mengingat pada 2009 ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,5 persen per tahun. Namun, pengikut argumen kualitas pertumbuhan tak terlalu puas dengan kinerja seperti itu karena mereka berfikir pertumbuhan sekitar 6 persen belum mampu menyerap pertambahan angkatan kerja 2 juta per tahun. Argumen mereka perekonomian yang masih mengandalkan sektor konsumsi (68 persen) akan sulit berkontribusi pada pembangunan sektor produktif yang menyerap tenaga kerja dan menciptakan tenaga kerja baru. Kobtribusi komponen investasi tercatat hanya 30,6 persen, sedangkan komponen ekspor 23,3 persen. Postur pertumbuhan ekonomi seperti dialami Indonesia saat ini sekaligus mampu menjelaskan bahwa proses penciptaan lapangan kerja baru dan pengentasan kemiskinan tidak berjalan sebagaimana diharapkan.

Terlepas apakah argumen kualitas pertumbuhan ekonomi dapat diandalkan atau tidak, potret penurunan angka kemiskinan 2010 yang diumumkan pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) seakan tak memiliki banyak arti secara ekonomi (dan politik). Angka total penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tahun ini memang turun menjadi 31 juta jiwa (13,3 persen), dari 2009 sebesar 32,6 juta jiwa (14,2 persen). Garis kemiskinan yang digunakan juga telah dinaikkan dari Rp 200.262 menjadi Rp 211.726 per bulan dengan proksi pengeluaran rumah tangga. Kelompok masyarakat menengah atas di kota-kota besar terkadang terheran-heran dengan garis kemiskinan itu, karena bagi mereka, angka itu tidak ubahnya dengan pengeluaran sekali minum kopi dan makanan ringan di hotel berbintang. Garis kemiskinan itu sebenarnya cukup rendah, karena setara dengan 78 sen dollar AS per hari, atau lebih rendah dibandingkan satu dollar per hari sebagaimana strandar internasional.

Secara mikro, potret angka kemiskinan tahun ini menjadi berita sedih, khususnya bagi sektor pertanian dan pedesaan, karena persentase angka kemiskinan di pedesaan meningkat, dari 63,4 persen pada 2009 menjadi 64,2 persen pada 2010. Peningkatan kemiskinan di pedesaan ini seharusnya ”kartu kuning” bagi para pemimpin yang masih berupaya bermain dengan retorika dan semantik politik pencitraan yang tidak berujung. Dengan membesarnya angka kemiskinan di pedesaan, dapat disimpulkan pembangunan pertanian saat ini boleh disebut gagal. Masyarakat juga tidak habis pikir karena secara politis, masa administrasi kedua pemerintahan SBY, kata-kata manis revitalisasi pertanian, tidak pernah disampaikan secara eksplisit, seperti pada masa administrasi pertama periode 2004-2009.  Maknanya, beberapa pernyataan pejabat negara tentang keberhasilan pencapaian swasembada beras dan sekian macam laporan peningkatan produksi pangan nyaris tidak berarti apa-apa karena pembangunan pertanian tidak membawa perbaikan kesejahteraan petani, atau tidak memberikan nilai tambah yang dinikmati masyarakat desa. Apalagi, jika pernyataan surplus beras yang disampaikan pejabat seakan mendapat tamparan keras dari kepastian untuk impor beras 300 ribu ton, walaupun berkali-kali disampaikan alasan untuk menjaga cadangan pangan, tidak akan bocor ke pasar domestik, dan sebagainya.

****
Secara umum, masyarakat awam akan sangat paham bila tidak terjadi peningkatan modal investasi dan modal kerja, maka kapasitas produksi di dalam negeri juga ikut mengecil. Ujungnya upaya menyerap tambahan tenaga kerja ikut terganggu. Dampak berikutnya industri akan mengurangi jam kerja dan jumlah pekerja, sehingga jumlah lapangan kerja berkurang, atau dengan kata lain industri tidak akan mampu menyerap dan menciptakan lapangan kerja baru. Ketika pada beberapa bulan terakhir muncul fenomena industri hilir pada sektor pertanian dan basis sumber daya alam lain banyak yang dialihkan ke luar negeri, perekonomian tidak akan mampu menciptakan lapangan kerja baru. Demikian pula, struktur produksi yang masih mengandalkan bahan baku impor akan sulit membawa dampak berganda bagi upaya peningkatan produktivitas dan kreativitas sistem produksi domestik. Sangat mungkin pasokan produk lokal ke pasar domestik juga menurun, suatu indikator bahwa upaya pengentasan kemiskinan dari sisi produktif masih terkendala persoalan struktural di dalam domestik ekonomi Indonesia.

Peningkatan kemiskinan di pedesaan sangat berhubungan dengan fenomena penurunan produktivitas di sektor pertanian, terutama pada dekade terakhir. Ukuran produktivitas pertanian biasanya terdiri dari produktivitas lahan (produksi pangan per areal panen) dan produktivitas tenaga kerja (produksi pangan per jumlah tenaga kerja). Penurunan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian (baca: peningkatan kemiskinan) secara langsung dan tidak langsung juga ditentukan produktivitas lahan pertanian. Pada kesempatan lain, penulis pernah menyampaikan bahwa sejak otonomi daerah diberlakukan pada 2001, produktivitas lahan pertanian kini hanya 2,2 ton pangan ekuivalen per hektare. Pada dekade 1980-an, produktivitas lahan tercatat 5,6 ton per hektare. Produktivitas tenaga kerja pertanian kini hanya 2 ton pangan ekuivalen per tenaga kerja, yang merupakan penurunan sangat signifikan dari angka produktivitas pada dekade 1980-an yang tercatat 4,1 ton pangan per tenaga kerja (Arifin, 2010).

Saat ini, pertambahan produktivitas pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai masih mengandalkan peningkatan areal panen dan intensitas pertanaman, yang tentu sangat bergantung pada faktor musim. Hal ini terjadi karena upaya perbaikan sarana irigasi, drainase, dan infrastruktur lain yang menjadi sumber peningkatan produktivitas masih bermasalah. Perbaikan teknik budidaya, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit masih sangat terkait ketersediaan dan manajemen pemakaian air. Berkurangnya areal panen padi dan kedelai tahun ini sangat berhubungan dengan musim kemarau basah, karena perubahan iklim masih sulit dijinakkan. Maksudnya, fokus peningkatan produktivitas pangan yang tradisional dan terkesan seadanya sulit diharapkan membawa hasil spektakuler.

****
Salah satu strategi untuk menggenjot peningkatan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan adalah dengan inovasi teknologi, termasuk basis bioteknologi seperti telah dijelaskan pada editorial sebelumnya. Strategi lain adalah fokus pada penurun persentase kemiskinan di pedesaan melalui industrialisasi pertanian dan pembangunan pedesaan. Tidak ada pembangunan pertanian tanpa pembangunan pedesaan atau peningkatan nilai tambah di pedesaan. Aktivitas industrialisasi pertanian atau agro-industri pertanian merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang mengarah pada pembangunan nilai tambah di pedesaan. Pilihan strategi industrialisasi pertanian cukup banyak, tergantung pada kondisi pemungkin (enabling condition) yang tersedia di pedesaan dan kebijakan pendukung yan ditempuh oleh administrasi pemerintahan yang berkuasa.

Pembangunan pedesaan yang dirangsang oleh agroindustri dengan pertimbangan sumber daya di pedesaan lebih banyak menunjang produksi pertanian, karena mengandalkan lahan dan tenaga kerja. Sumber daya pedesaan ini umumnya lebih terampil dalam hal usaha tani di hulu, tapi tidak terlalu terampil dalam produksi manufaktur di hilir. Maksudnya industrialisasi pertanian yang difokuskan pada daerah pedesaan akan merangsang peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan dan pembangunan pedesaan umumnya. Di sini ditekankan pentingnya keterkaitan ke depan dan ke belakang dari suatu proses industrialisasi, yang akan berakumulasi menghasilkan nilai tambah yang cukup besar. Kelemahan utama strategi industrialisasi ini adalah ketergantungan terhadap dukungan infrastruktur, investasi dan pendanaan aktivitas ekonomi, sehingga masih terlalu mengandalkan dominasi peran pemerintah.

Pemerintah perlu secara sistematis memfokuskan investasi ekonomi produktif di pedesaan untuk menciptakan daya dorong pembangunan yang menekankan pada pentingnya peningkatan produktivitas dan daya beli kaum miskin dan berfungsi sebagai gelombang pendorong bagi golongan kaya.  Analogi yang sama diunakan untuk menggambarkan daya dorong pembangunan pedesaan (atau daerah secara umum) bagi pembangunan di daerah perkotaan (atau pusat aktivitas ekonomi dan kekuasaan). Prinsip industrialisasi di sini perlu memprioritaskan perhatian pada golongan miskin dan daerah pedesaan, bukan golongan kaya dan daerah perkotaan. Kelemahan strategi supply-push ini selain karena terlalu statis dan tidak memanfaatkan peluang pasar dan permintaan, juga impresi ketidakberdayaan atau “dorongan keluar” bagi tenaga tidak terampil dari pedesaan ke perkotaan atau dari sektor pertanian ke sektor industri. Tingkat produktivitas tenaga kerja tidak terampil ini jelas berkait erat dengan kecilnya upah buruh dan dikhawatirkan menjadi faktor kunci dalam penciptaan kemiskinan atau kantong-kantong baru kemiskinan di daerah perkotaan.

Akhirnya, faktor keamanan dan kepastian hukum adalah fixed variable yang tidak dapat ditawar lagi dan harus senantiasa menjadi yang terdepan dalam setiap keputusan investasi produktif, apalagi di daerah pedesaan. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus-menerus meningkatkan rasa aman, kepastian usaha, dan kenyamanan berusaha “mengawal” langkah-langkah pembangunan ekonomi di daerah dan kawasan sekitarnya untuk mencapai fixed variable. Falsafah kemitraan tripartit swasta-pemerintah-masyarakat dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan peningkatan nilai tambah, pembenahan daya saing dan pengurangan kemiskinan di pedesaan. Di sinilah, kelak pembangunan ekonomi Indonesia akan meningkat kualitasnya.

Prof. Dr. Bustanul Arifin
Ekonom Senior INDEF, Jakarta

Anekdot Kebijakan Surplus Beras 10 Juta Ton

Anekdot Kebijakan Surplus Beras 10 Juta Ton

Jumat, 29 Juli 2011

Setengah abad lalu, ekonom besar John Maynard Keynes melalui karya yang fenomenal The General Theory of Employment, Interest and Money (1961, halaman 383) menyatakan bahwa dunia ini hanya diatur sekelompok kecil saja (Indeed, the world is ruled by little else). Dengan menyindir para perumus kebijakan, Keynes secara tegas menambahkan bahwa para pemimpin sepertinya hanya mendengar informasi yang tidak lengkap dari diskursus akademik yang mungkin sudah kadaluwarsa.

Masyarakat benar-benar dibuat bingung dengan rencana terbaru Pemerintah yang bermaksud untuk melakukan impor beras (lagi), walaupun “dibungkus” dengan wacana untuk menambah dan menjaga stok pangan nasional. Sementara pada awal Juli, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan estimasi produksi padi pada 2011 yang diperkirakan tumbuh 2,4 persen per tahun, dan seharusnya lebih dari cukup untuk konsumsi nasional satu tahun. Apakah target kebijakannya yang salah, instrumennya yang tidak tepat, atau basis akademik dan landasan teorinya yang tidak lagi mutakhir, sehingga informasi yang diterima masyarakat campur-aduk dan serba tidak jelas.

Sebagaimana diketahui, Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Kedua pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mentargetkan pencapaian surplus beras 10 juta ton pada 2014.  Walaupun tidak ada yang salah bagi suatu rezim menetapkan target-target besar dan ambisius, namun tentu banyak orang terperanjat dengan target itu. Tidak terkecuali para ekonom pertanian yang sehari-hari bergelut dan merasa mengikuti perkembangan dari dekat tentang betapa kondisi di lapangan terkini yang demikian.

Kalangan birokrasi pemerintahan juga sama, bahwa tidak akan mudah mencapai target surplus produksi padi dengan kondisi laju konversi sawah produktif menjadi kegunaan lain telah melebihi 100 ribu hektar per tahun, sedangkan kemampuan rata-rata pemerintah mencetak sawah tidak sampai 50 ribu hektar per tahun. Defisit areal persawahan produktif yang semakin tahun semakin besar, sehingga Indonesia membutuhkan langkah-langkah konkrit pencetakan sawah-sawah baru setidaknya 100 ribu hektar per tahun, dan idealnya 200 ribu hektar per tahun. 

Kinerja kebijakan selama ini tidak terlalu menggembirakan, karena fakta laju peningkatan produktivitas padi selama 14 tahun terakhir (1996-2010) sangat lambat, hanya di bawah satu persen. Tidak berlebihan untuk disampaikan bahwa target pencapaian surplus produksi beras 10 juta ton menjadi amat sulit tercapai, jika tidak dilakukan kebijakan pertanian yang revolusioner.

Target surplus 10 juta ton beras dapat saja tercapai jika mengandalkan data produksi yang selama ini digunakan pemerintah, yang telah lama ditengarai oleh para ekonom pertanian menderita overestimate, walaupun profesi ini sampai saat ini belum mampu memberikan estimasi alternatif yang lebih mendekati kenyataan seperti diharapkan masyarakat banyak.

Di atas kertas, dengan metode estimasi yang selama ini digunakan Pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memang memiliki “surplus beras” sekitar 6 juta ton. Produksi padi sampai 1 Juli 2011 diramalkan mencapai 68 juta ton gabah kering giling (GKG) (atau setara 39,2 juta ton beras dengan laju konversi 0,57. Jika konsumsi beras 139,15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton, sehingga ”selisih” produksi dengan konsumsi mencapai 6 juta ton.

Jika benar terdapat surplus beras, seharusnya Indonesia tidak perlu lagi melakukan impor beras, seperti yang dilakukan pada periode November 2010 dan Maret 2011, yang tercatat hampir 2 juta ton. Sepanjang tahun 2011 tidak terdapat laporan bahwa terdapat ekspor beras dalam jumlah signifikan, sehingga pada pertengahan tahun 2011 ini, wacana kebijakan impor beras kembali digulirkan, paling tidak untuk testing the water mengetahui reaksi masyarakat terhadap kebijakan yang tidak populer dan sangat sensitif secara ekonomi dan politik tersebut. 

Sampai pertengahan Juli 2011, memang belum terdapat reaksi berlebihan dari publik, apakah masyarakat mendukung impor beras karena harga eceran sudah merangkak naik karena tradisi menjelang Ramadan, apakah masyarakat apatis dan abstain saja karena terlalu sibuk dengan urusan sendiri sehari-hari, atau apakah masyarakat justru menentang karena yakin bahwa Indonesia mampu surplus beras. Sesuatu yang nampaknya pasti akan terjadi adalah bahwa impor akan jadi dilaksanakan jika masyarakat (dan anggota parlemen) tidak menentang secara berlebihan atau jika argumen masyarakat kalah wibawa dengan keputusan sekelompok elit perumus kebijakan saja.

Instrumen Kebijakan

Untuk mencapai target besar surplus beras 10 juta ton tahun 2014 tersebut, pada tahun 2011 ini Pemerintah setidaknya telah mencanangkan tiga program besar dengan target kuantitatif sebagai berikut: pertama, optimalisasi saluran irigasi seluas 220 ribu hektare dan pembangunan irigasi baru dan rehabilitasi irigasi lama seluas 285 ribu hektare. Kedua, penyaluran pupuk bersubsidi 9,9 juta ton dan benih bersubsidi 165 ribu ton. Ketiga, pencetakan lahan sawah baru 110 ribu hektare.

Dalam bahasa rutin administrasi kebijakan pembangunan tanaman pangan, program-program yang dijalankan mengacu pada catur strategi pembangunan tanaman pangan, yaitu peningkatan produktivitas perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan penguatan kelembagaan dan pembiayaan. Selain itu, rencana kerja (proyek) yang disusun juga meliputi sekian macam rencana pendukung, seperti perbaikan riset dan pengembangan (R&D) bidang produktivitas, revitalisasi industri pertanian, penanganan rawan pangan, percepetan penganekaragaman konsumsi, penguatan kelembagaan koperasi petani, bantuan permodalan dan dukungan pemasaran produk koperasi dan usaha mikro kecil menengah (UMKM), dan sebagainya.

Template rencana aksi pun sebenarnya sudah dipersiapkan secara rutin setiap tahun, yang berbeda mungkin adalah besaran anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana aksi tersebut. Misalnya, peningkatan produktivitas ditempuh melalui upaya pengolahan lahan, peyediaan benih unggul bermutu, pengembangan cara tanam, manajemen pengairan, pemupukan berimbang dan organik. Perluasan areal tanam ditempuh melalui program optimalisasi lahan, pencetakan sawah baru, jaringan irigasi tersier usahatani (JITUT), jaringan irigasi desa (JIDES), pengembangan pompa, sumur dan embung penampunagn air, dan konservasi lahan.

Pengamanan produksi ditempuh melalui pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), pengembangan dan antisipasi dampak perubahan iklim, pengembangan penanganan pasca panen, dan pengembangan lumbung dan gudang pangan. Penguatan kelembagaan dan pembiayaan meliputi pengembangan pasar, kelompok tani dan gabungannya serta koperasi pertanian, penangkar, kios sarana produksi, unit pelayanan jasa alat dan mesin pertanian  (UPJA), pelayanan penyuluhan, perbenihan, dan perlindungan, asosiasi petani, lembaga swadaya masyarakat, termasuk kontak tani nelayan andalan (KTNA) dan himpunan kerukunan tani Indonesia (HKTI), lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat (LM3), lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM). Pembiayaan kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE), kredit usaha rakyat (KUR), kemitraan usaha kecil, menengah dan koperasi, dan sebagainya.

Di luar program-program rutin tersebut, pemerintah juga berupaya mendirikan Konsorsium badan usaha milik negara (BUMN) yang akan melakukan penguatan produksi dan cadangan pangan nasional. Lima BUMN pangan, yakni PT Pertani, PT Sang Hyang Seri (SHS), PT Pupuk Sriwidjaja (Holding), PT Perhutani, dan Perum Bulog berencana mengelola lahan 570 ribu hektare yang disewa dari petani. Walaupun kelanjutan program sewa lahan petani ini masih samar-samar, esensinya adalah bahwa langkah konsolidasi lahan itu kemungkinan besar memobilisasi modal produksi pangan yang diambil dari dana corporate social responsibility (CSR) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dari BUMN tersebut.

Apa pun strategi yang ditempuh, tampaknya Konsorsium BUMN pangan itu perlu bekerja keras, melakukan pendekatan dengan segenap jajaran pemerintah daerah melalui Kementerian Dalam Negeri. Perusahaan negara itu perlu lebih membumi, menyelami permasalahan lapangan bidang produksi pangan, mempelajari perkembangan literatur terbaru tentang inovasi dan perubahan teknologi pertanian dan pangan, dan mendidik petugas/penyuluh lapangan yang tangguh. Langkah konsolidasi lahan petani itu jelas bukan persoalan transaksi moneter biasa, tapi lebih berupa pembangunan modal sosial atau rasa saling percaya antarkomponen bangsa dan stakeholders bidang pangan.  

Upaya konsolidasi lahan oleh Konsorsium BUMN pangan perlu dilihat sebagai komplemen (bukan substitusi) dari program-program peningkatan produksi pangan yang selama ini dijalankan birokrasi. Maksudnya, Pemerintah masih perlu bekerja keras untuk membangunan kompatibilitas pembangunan pertanian dengan skema desentralisasi dan demokrasi. Ketika para elit daerah tidak menjadikan isu pertanian dan pangan sebagai driver dalam pencitraan popularitas dan pembangunan konstituen – dibandingkan isu pendidikan dan kesehatan gratis – secara hakikat agak sulit berharap inovasi pembangunan pertanian akan lahir dari daerah.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta para stakeholders lain yang menggeluti aspek governansi pemerintahan memiliki tanggung jawab moral untuk membalik kondisi di atas. Misalnya, tradisi keberlanjutan dan kearifan lokal pengelolaan lahan yang sangat kaya dan beragam di seantero negeri dapat dimobilisasi sebagai pressure pintu masuk inovasi pembangunan pertanian di daerah. 
                                                                      ****
Kasus anekdotal kebijakan pencapaian target 10 juta ton beras itu hanya satu contoh saja dari sekian banyak kebijakan pertanian yang tidak secara baik menggunakan bukti-bukti empiris dan basis ilmu pengetahuan (evidence-based) dalam perumusan, organisasi dan implementasi kebijakan di lapangan. Demikian pula, kualitas governansi ekonomi yang melingkupi kebijakan pertanian secara umum juga tidak terlalu baik, sehingga konsistensi dan kinerja peningkatan kesejahteraan petani, kinerja efisiensi dan pertumbuhan ekonomi atau keberlanjutan pembangunan sulit tercapai dengan baik pula. Kualitas governansi yang muncul ke permukaan juga jauh dari prinsip-prinsip keterbukaan dan kesetaraan, karena vested interests dan perburuan rente ekonomi jangka pendek terkadang terlalu telanjang.

Benar bahwa dalam setiap kebijakan pembangunan selalu terdapat pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan, selain dari tujuan-tujuan yang ditetapkan secara formal dalam kebijakan tersebut, selain dari para aktor yang dengan sengaja menjadi penumpang gelap dan meraup rente ekonomi dan rente politik yang demikian menggiurkan. Kalau pun terdapat satu-dua kebijakan pembangunan pertanian yang secara akademik logis dan rasional, namun di lapangan kebijakan yang bagus tersebut seperti amat sulit untuk dilaksanakan. Sebaliknya, apabila terdapat satu-dua kebijakan pembangunan pertanian yang kelihatan berhasil di lapangan, terkadang kebijakan tersebut tidak dilalui suatu proses analisis ex-ante, modeling atau simulasi kebijakan dengan basis kuantitatif yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Varian dari hal tersebut di atas adalah bahwa cukup banyak inovasi dan inisiatif brilian yang dilakukan masyarakat madani atau tokoh masyarakat atau pelaku swasta yang terkadang jauh bervisi ke depan dan berpotensi mampu mengubah dunia. Di sinilah para perumus dan pelaksana kebijakan alias birokrasi pemerintah perlu belajar banyak dari inspirasi, ketekunan dan keseriusan dari salah satu aktor pembangunan itu merancang, menjalankan dan melaksakan gagasan dan mimpinya, sehingga menjadi kenyataan dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Akhirnya, target-target produksi pertanian seperti pada kasus pencapaian surplus 10 juta ton beras akan dapat tercapai apabila dilakukan langkah-langkah operasional kebijakan yang lebih efektif, minimal dalam hal perbaikan manajemen usahatani padi, peningkatan produktivitas dan inovasi kelembagaan wajib diteruskan dan diperbaiki sesuai dengan tuntutan zaman, termasuk mengakomodasi dan memanfaatkan kearifan lokal, yang umumnya kompatibel dengan strategi keberlanjutan pembangunan ekonomi secara umum di Indonesia.

Prof Dr Bustanul Arifin, Ekonom INDEF-Jakarta
Sumber : http://www.metrotvnews.com/

Rabu, 27 Juli 2011

Data GNP Tahun 1993-2002

Perkembangan Agrerat Pendapatan Nasional (GNP)
Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993

GROSS NATIONAL PRODUCT (GNP)
Tahun
Nilai (Milyar)
Persentase
1993
317.223
-
1994
344.911
8,73
1995
371.868
7,82
1996
401.932
8,08
1997
419.591
4,39
1998
348.409
(16,61)
1999
357.207
2,53
2000
372.543
4,29
2001
393.733
5,69
2002
404.522
2,59


Selasa, 26 Juli 2011

Tujuan Pembangunan Ekonomi

Pembangunan adalah proses pengembangan keseluruhan sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan nasional, adapaun tujuan nasional Indonesia tercantum dalam UUD 1945 alinea ke empat, yakni:
”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Pembangunan nasional adalah usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global.

Adapun Undang-Undang No 25 Tahun 24 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mendefinisikan bahwa pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua, komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.

Rencana pembangunan di Indonesia dibagi menjadi tiga tahap, yaitu rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang selanjutnya disingkat RPJP adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. Adapun Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat RPJM adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun. Sementara rencana pembangunan tahunan disuse satu tahun sekali yang diwujudkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP)

Kerangka Pembangunan Internasional
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia tidak bisa lepas dari kerangka proses pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat Internasional. Deklarasi Millenium yang sepakati oleh negara-negara anggota PBB sebanyak 189 negara pada bulan september 2000 menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan dari arah pembangunan yang dilakukan.

Terdapat sejumlah kerangka internasional pembangunan yang terumuskan dalam tujuan pembangunan Millenium (Millennium Development Goals) sebagai berikut:
1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
2. Memenuhi pendidikan dasar untuk semua
3. Mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan
4. Menurunkan angka kematian belita
5. Meningkatkan kualitas kesehatan ibu melahirkan
6. Memerangi HIV/AIDS,malaria dan penyakit menular lainya
7. Menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan

Setiap pemerintahan yang berada di suatu negara berfungsi sebagai Agent of Development, output yang diharapkanya adalah agar rakyat sebagai objek sekaligus subjek pembangunan dapat mencapai kemakmuran atau kehidupan yang layak. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan proses pembangunan ekonomi. Sukses tidaknya proses pembangunan ekonomi yang dilakukan akan menentukan tingkat kesejahteraan rakyatnya.

Pembangunan ekonomi adalah suatau proses terencana dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan per kapita pendudukanya dalam jangka panjang.


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan
1. Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM merupakan faktor kunci dalam proses pembangunan, baik tidaknya perencanaan dan pengorganisasian proses pembangunan tergantung kepada kualitas manusia sebagai objek dan subjeknya. Negara-negara maju seperti Jerman dan Amerika dengan SDM yang berkualitas, sudah terbukti mengalami percepatan dalam proses pembangunan yang dilaksanakannya. SDM dibutuhkan untuk mengolah segala potensi SDA menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi.
Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.
2. Sumber Daya Alam (SDA)
Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pembangunan suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. SDM yang berkualitas akan lebih berdayaguna ketika didukung oleh ketersediaan SDA yang memadai. Semakin banyak SDA, semakin besar peluang suatu Negara untuk lebih productive daripada Negara lainnya.
3. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan alat bagi sumber daya manusia untuk mengolah sumber daya alam secara productive. Semakin canggih IPTEK yang dimiliki suatu Negara, semakin besar peluang Negara tersebut untuk maju. Melalui pemanfaatan IPTEK manusia dapat menciptakan barang atau jasa dengan lebih cepat, mudah dan murah.
4. Sosial Budaya
Nilai-nilai sosial budaya sangat berpengaruh terhadap proses pembangunan, nilai-nilai tersebut dapat menjadi faktor pendorong dan dapat pula menjadi faktor penghambat. Contohnya budaya gotong royong yang dimiliki bangsa Indonesia atau budaya kerja keras yang dimiliki orang Jepang menjadi faktor pendukung proses pembangunan, sebaliknya budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi faktor penghambat proses pembangunan.
5. Keadaan Politik
Sistem dan keadaan politik suatu Negara berpengaruh teradap keberlangsungan proses pembangunan. Negara sosialis dan Negara liberalis akan memperlakukan secara berbeda terhadap kebebasan individu dan pemanfaatan sumber daya alam yang dimilikinya, hal tersebut otomatis akan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas masing-masing Negara. Keadaan politik yang tidak menentu karena banyak serangan teror atau adanya kudeta misanyalnya, hal itupun akan berdampak terhadap kelancaran proses pembangunan.
5. Sistem Pemerintahan
Pemerintahan dengan sistem sosialis dan liberalis kedua-duanya akan memberikan warna yang berbeda terhadap proses pembangunan. Dalam sistem sosialis, kerangka pembangunan dan pemanfaatan sumber daya direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah, sementara dalam liberalis peran masyarakat baik secara individu maupun kelompok lebih dikedepankan daripada pemerintah. Hal tersebut tentunya berdampak terhadap proses dan hasil pembangunan.
Pola desentralisasi atau otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1999 membrikan warna yang berbeda pula terhadap pembangunan bangsa. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembangunan dipengaruhi juga oleh sistem pemerintahan.

Indikator Keberhasilan Pembangunan
Untuk mengukur berhasil tidaknya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu bangsa, maka diperlukan sejumlah indikator yang mewakili kondisi objek suatu bangsa pasca dilakukannya proses pembangunan.
Secara umum, indikator keberhasilan pembangunan adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan Pendapatan Per Kapita
Pendapatan Per Kapita adalah pendapatan rata-rata penduduk suatu Negara selama periode tertentu, biasanya satu tahun. Pendapatan per kapita menunjukkan tingkat kesejahteraan yang dicapai oleh penduduk suatu negara. Sehingga dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan.
2. Peningkatan Produktivitas Per Kapita
Produktivitas Per Kapita adalah hasil produksi yang dihasilkan atas usaha dalam tiap jam kerja per tenaga kerja.

Siklus Ekonomi (circular flow diagram)

Kegiatan perekonomian suatu negara dan pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat dalam perekonomian tersebut dapat dilihat dari circular flow diagram di bawah ini.

1.Kegiatan Ekonomi Dua Sektor
Kegiatan ekonomi dua sektor hanya melibatkan dua pelaku ekonomi, yaitu rumah tangga dan perusahaan.

a.Corak Kegiatan Ekonomi Subsistem
Dalam corak kegiatan ekonomi subsistem penerima-penerima pendapatan, dalam hal ini rumah tangga, tidak menabung, dan para pengusaha tidak menanam modal. Dalam masyarakat yang seperti ini aliran pendapatannya adalah seperti yang tampak pada Gambar berikut :


Dalam kegiatan ekonomi seperti ini sekiranya sektor produksi menggunakan seluruh faktor produksi yang ada dalam perekonomian, pengeluaran sektor rumah tangga akan sama dengan nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian. Ini adalah gambaran yang sangat sederhana yang terjadi pada suatu perekonomian, di mana kegiatan perdagangan pada umumnya masih menggunakan cara barter.

b.Corak Perekonomian Modern
Dalam perekonomian yang lebih maju, penerima-penerima pendapatan akan menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk ditabung. Tabungan ini akan dipinjamkan kepada pengusaha yang akan menggunakannya untuk investasi, yaitu melakukan pembelian barang-barang modal.


2.Kegiatan Ekonomi Tiga Sektor
Dalam kegiatan ekonomi tiga sektor, pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat selain dari rumah tangga dan perusahaan, diperlihatkan juga peranan dan pengaruh pemerintah atas kegiatan perekonomian.



3.Kegiatan Ekonomi Empat Sektor
Kegiatan ekonomi empat sektor sering disebut perekonomian terbuka karena kegiatan ini tidak hanya melibatkan pelaku-pelaku ekonomi di dalam negeri, tetapi juga masyarakat ekonomi di luar negeri.




sumber:SRI Nur Mulyati
Ekonomi 1 : Untuk Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
Kelas X / Sri Nur Mulyati, Agus Mahfudz, Leni Permana ; editor,
R Nugroho P, Sri Hapsari. —  Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

Pendapatan Nasional

Salah satu tolak ukur yang dapat digunakan untuk menilai kondisi perekonomian suatu negara adalah pendapatan nasional. Tujuan dari perhitungan pendapatan nasional ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat ekonomi yang telah dicapai dan nilai output yang diproduksi, komposisi pembelanjaan agregat, sumbangan dari berbagai sektor perekonomian, serta tingkat kemakmuran yang dicapai (Sukirno, 2008, p55). Selain itu, data pendapatan nasional yang telah dicapai dapat digunakan untuk membuat prediksi tentang perekonomian negara tersebut pada masa yang akan datang. Prediksi ini dapat digunakan oleh pelaku bisnis untuk merencanakan kegiatan ekonominya di masa depan, juga untuk merumuskan perencanaan ekonomi untuk mewujudkan pembangunan negara di masa mendatang (Sukirno, 2008, p57).
Pendapatan nasional dapat diartikan sebagai nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu negara (Sukirno, 2008, p36). Pengertian berbeda dituliskan dengan huruf besar P dan N, dimana Pendapatan Nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor produksi yang digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu (Sukirno, 2008, p36). Terdapat beberapa cara yang digunakan dalam perhitungan pendapatan nasional, yaitu pendapatan nasional bruto dan pendapatan domestic bruto.
Gross National Product (GNP) atau disebut juga dengan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) merupakan nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut, termasuk nilai produksi yang diwujudkan oleh faktor produksi yang digunakan di luar negri, namun tidak menghitung produksi yang dimiliki penduduk atau perusahaan dari negara lain yang digunakan di dalam negara tersebut (Sukirno, 2008, p35).
Gross Domestic Product (GDP) atau disebut juga dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) merupakan nilai pasar dari semua barang dan jasa final yang diproduksi dalam sebuah negara pada suatu periode (Mankiw, 2006, p6), meliputi faktor produksi milik warga negaranya sendiri maupun milik warga negara asing yang melakukan produksi di dalam negara tersebut.
Terdapat tiga metode yang dapat digunakan untuk menghitung pendapatan nasional, yaitu cara pengeluaran, cara produk neto, dan cara pendapatan. Berikut akan dijabarkan tentang masing-masing metode.
1. Cara Pengeluaran
Teknik perhitungan ini banyak digunakan di negara-negara maju, seperti Belanda, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat, dimana pendapatan nasional yang dihasilkan metode ini dapat memberi gambaran tentang sampai dimana buruknya masalah ekonomi yang dihadapi atau sampai dimana baiknya tingkat pertumbuhan yang dicapai dan tingkat kemakmuran yang sedang dinikmati, serta memberikan informasi dan data yang dibutuhkan dalam analisis makroekonomi (Sukirno, 2008, p37). Perhitungan pendapatan nasional dengan cara pengeluaran memiliki empat komponen penting, yaitu konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal sektor swasta (investasi) dan ekspor neto (Sukirno, 2008, p37).
* Konsumsi rumah tangga adalah pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tangga, termasuk barang tahan lama, barang tidak tahan lama, jasa dan biaya pendidikan (Mankiw, 2006, p12), namun tidak termasuk investasi, seperti pembayaran asuransi atau uang saku untuk anak (Sukirno, 2008, p38).
* Belanja pemerintah mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh pemerintah, yang dibedakan menjadi konsumsi dan investasi (Sukirno, 2008, p38). Yang termasuk dalam konsumsi adalah pembayaran gaji dan tunjangan pegawai negri dan pembelian inventaris, sedangkan yang termasuk investasi adalah pembangunan jalan raya, sekolah, dan lain sebagainya. pembayaran jaminan social untuk fakir miskin, bantuan untuk korban bencana alam dan subsidi lainnya tidak termasuk dalam belanja pemerintah, melainkan termasuk dalam pembayaran transfer, karena tidak ada barang/jasa yang diproduksi (Mankiw, 2006, p13).
* Investasi merupakan pembelian barang yang nantinya digunakan untuk memproduksi barang/jasa lainnya (Mankiw, 2006, p12). Investasi dapat digolongkan menjadi pengeluaran atas barang modal dan peralatan produksi, perubahan dalam nilai inventori pada akhir tahun, dan pengeluaran untuk mendirikan bangunan (Sukirno, 2008, p39).
* Ekspor neto sama dengan pembelian produk dalam negri oleh orang asing (ekspor) dikurangi dengan pembelian produk luar negri oleh warga negara tersebut (impor) dalam periode yang sama (Mankiw, 2006, p13).
2. Cara Produk Neto
Produk neto dapat diartikan sebagai nilai tambah yang diciptakan dalam suatu proses produksi (Sukirno, 2008, p42). Sehingga perhitungan pendapatan nasional dengan cara neto diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah yang diwujudkan oleh perusahaan di berbagai lapangan usaha dalam perekonomian negara tersebut. Cara ini dapat memberikan informasi tentang seberapa besar pengaruh sektor-sektor tersebut terhadap perekonomian negara.
3. Cara Pendapatan
Pendapatan nasional dengan cara pendapatan diperoleh dari penjumlahan pendapatan-pendapatan yang terjadi, akibat penggunaan faktor produksi untuk mewujudkan barang dan jasa (Sukirno, 2008, p44). Pendapatan tersebut digolongkan menjadi pendapatan para pekerja (gaji/upah), pendapatan dari usaha perseorangan, pendapatan dari sewa, bunga neto dan keuntungan perusahaan.
Dalam melakukan perhitungan pendapatan nasional, terdapat berbagai kendala, terutama di Indonesia. Masalah tersebut antara lain adalah
* Ketersediaan data dan informasi, karena tidak semua kegiatan ekonomi terdokumentasi dengan baik
* Pemilihan kegiatan produksi yang termasuk dalam perhitungan. Sebagai contoh adalah kegiatan produksi dalam rumah tangga seperti mencuci dan memasak, menanam palawijo untuk konsumsi pribadi, kegiatan yang menyalahi hukum seperti transaksi jual beli obat terlarang dan prostitusi, serta tunjangan yang tidak berupa uang, tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan nasional.
* Penghitungan dua kali kerapkali terjadi ketika bahan yang sama dikonsumsi oleh orang yang berbeda. Misalnya gula dan tepung yang dibeli oleh ibu rumah tangga dapat dianggap sebagai barang jadi, namun jika bahan tersebut dibeli oleh bakery shop, maka dianggap sebagai barang setengah jadi. Apabila nilai produksi tepung dan gula dimasukkan dalam perhitungan produksi roti/kue, maka akan terjadi perhitungan dua kali.
* Penentuan harga barang yang berlaku, karena tidak semua tempat menggunakan harga yang sama, bergantung pada lokasi, musim, harga dollar, dan lain sebagainya.
* Investasi bruto dan investasi neto, dimana terdapat perbedaan akibat depresiasi, terutama untuk menghitung investasi yang dilakukan oleh negara.
* Informasi kenaikan harga barang membutuhkan informasi indeks harga. Penentuan indeks harga itu sendiri memiliki beberapa masalah, seperti penentuan barang yang akan digunakan dalam perhitungan.



Download data Produk Domestik Bruto

 http://www.bps.go.id/aboutus.php?tabel=1&id_subyek=11

Sup Udang Umami


Waktu 15 menit    Porsi 4 orang    Kalori 98 Kkal/orang
BAHAN
100 g udang, kupas, kerat, lumuri tepung maizena
1 bh oyong, kupas, potong
1 siung bawang putih
2 cm lengkuas, memarkan
2 cm serai, memarkan
2 lbr daun jeruk
2 sdt garam
1 sdt AJI-NO-MOTO
1 ltr air
4 sdm minyak goreng

Pelengkap:
Soun
Daun kemangi
Daun selada
Cabai rawit merah

Cookies Tempe Teriyaki



Eenie Meenie Chord Guitar


Eenie Meenie By Justin Bieber and Sean Kingston 

(Capo on First or Second)

Eenie meenie miney mo
Catch a bad chick by her toe
If she holla (if, if, if she holla) let her go

Am
Shes indecisive
F
She cant decide
C
She keeps on lookin
G
From left to right

Am
Girl, come on get closer
F
Look in my eyes
C
Searchin is so wrong
G
I’m Mr. Right

Am
You seem like the type
F
To love em and leave em
C                              G
And disappear right after this song.
               Am
So give me the night
F
To show you, hold you
C                              G
Don’t leave me out here dancin alone

                      Am                      F
You cant make up your mind, mind, mind, mind, mind
                      C                       G
Please Don’t waste my time, time, time, time, time
                   Am                      F
I’m not tryin to rewind, wind, wind, wind, wind
           C                             G
I wish our hearts could come together as one

                  Am                    F
Cause shorty is a eenie meenie miney mo lova
            C                     G
Shorty is a eenie meenie miney mo lova
            Am                    F
Shorty is a eenie meenie miney mo lova
            C                     G
Shorty is a eenie meenie miney mo lova


Am        
Let me show you what your missin
F
 Paradise
C
With me you're winning girl
G
You Don't have to roll the dice
Am
Tell me what you're really here for
F
 Them other guys?
C
I can see right through ya
G

Am
You seem like the type
F
To love em and leave em
C                              G
And disappear right after this song.
               Am
So give me the night
F
To show you, hold you
C                              G
Don’t leave me out here dancin alone

                      Am                      F
You cant make up your mind, mind, mind, mind, mind
                      C                       G
Please Don’t waste my time, time, time, time, time
                   Am                      F
I’m not tryin to rewind, wind, wind, wind, wind
           C                             G
I wish our hearts could come together as one

                  Am                    F
Cause shorty is a eenie meenie miney mo lova
            C                     G
Shorty is a eenie meenie miney mo lova
            Am                    F
Shorty is a eenie meenie miney mo lova
            C                     G
Shorty is a eenie meenie miney mo lova