Sabtu, 30 Juli 2011

Anekdot Kebijakan Surplus Beras 10 Juta Ton

Anekdot Kebijakan Surplus Beras 10 Juta Ton

Jumat, 29 Juli 2011

Setengah abad lalu, ekonom besar John Maynard Keynes melalui karya yang fenomenal The General Theory of Employment, Interest and Money (1961, halaman 383) menyatakan bahwa dunia ini hanya diatur sekelompok kecil saja (Indeed, the world is ruled by little else). Dengan menyindir para perumus kebijakan, Keynes secara tegas menambahkan bahwa para pemimpin sepertinya hanya mendengar informasi yang tidak lengkap dari diskursus akademik yang mungkin sudah kadaluwarsa.

Masyarakat benar-benar dibuat bingung dengan rencana terbaru Pemerintah yang bermaksud untuk melakukan impor beras (lagi), walaupun “dibungkus” dengan wacana untuk menambah dan menjaga stok pangan nasional. Sementara pada awal Juli, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan estimasi produksi padi pada 2011 yang diperkirakan tumbuh 2,4 persen per tahun, dan seharusnya lebih dari cukup untuk konsumsi nasional satu tahun. Apakah target kebijakannya yang salah, instrumennya yang tidak tepat, atau basis akademik dan landasan teorinya yang tidak lagi mutakhir, sehingga informasi yang diterima masyarakat campur-aduk dan serba tidak jelas.

Sebagaimana diketahui, Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Kedua pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mentargetkan pencapaian surplus beras 10 juta ton pada 2014.  Walaupun tidak ada yang salah bagi suatu rezim menetapkan target-target besar dan ambisius, namun tentu banyak orang terperanjat dengan target itu. Tidak terkecuali para ekonom pertanian yang sehari-hari bergelut dan merasa mengikuti perkembangan dari dekat tentang betapa kondisi di lapangan terkini yang demikian.

Kalangan birokrasi pemerintahan juga sama, bahwa tidak akan mudah mencapai target surplus produksi padi dengan kondisi laju konversi sawah produktif menjadi kegunaan lain telah melebihi 100 ribu hektar per tahun, sedangkan kemampuan rata-rata pemerintah mencetak sawah tidak sampai 50 ribu hektar per tahun. Defisit areal persawahan produktif yang semakin tahun semakin besar, sehingga Indonesia membutuhkan langkah-langkah konkrit pencetakan sawah-sawah baru setidaknya 100 ribu hektar per tahun, dan idealnya 200 ribu hektar per tahun. 

Kinerja kebijakan selama ini tidak terlalu menggembirakan, karena fakta laju peningkatan produktivitas padi selama 14 tahun terakhir (1996-2010) sangat lambat, hanya di bawah satu persen. Tidak berlebihan untuk disampaikan bahwa target pencapaian surplus produksi beras 10 juta ton menjadi amat sulit tercapai, jika tidak dilakukan kebijakan pertanian yang revolusioner.

Target surplus 10 juta ton beras dapat saja tercapai jika mengandalkan data produksi yang selama ini digunakan pemerintah, yang telah lama ditengarai oleh para ekonom pertanian menderita overestimate, walaupun profesi ini sampai saat ini belum mampu memberikan estimasi alternatif yang lebih mendekati kenyataan seperti diharapkan masyarakat banyak.

Di atas kertas, dengan metode estimasi yang selama ini digunakan Pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memang memiliki “surplus beras” sekitar 6 juta ton. Produksi padi sampai 1 Juli 2011 diramalkan mencapai 68 juta ton gabah kering giling (GKG) (atau setara 39,2 juta ton beras dengan laju konversi 0,57. Jika konsumsi beras 139,15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton, sehingga ”selisih” produksi dengan konsumsi mencapai 6 juta ton.

Jika benar terdapat surplus beras, seharusnya Indonesia tidak perlu lagi melakukan impor beras, seperti yang dilakukan pada periode November 2010 dan Maret 2011, yang tercatat hampir 2 juta ton. Sepanjang tahun 2011 tidak terdapat laporan bahwa terdapat ekspor beras dalam jumlah signifikan, sehingga pada pertengahan tahun 2011 ini, wacana kebijakan impor beras kembali digulirkan, paling tidak untuk testing the water mengetahui reaksi masyarakat terhadap kebijakan yang tidak populer dan sangat sensitif secara ekonomi dan politik tersebut. 

Sampai pertengahan Juli 2011, memang belum terdapat reaksi berlebihan dari publik, apakah masyarakat mendukung impor beras karena harga eceran sudah merangkak naik karena tradisi menjelang Ramadan, apakah masyarakat apatis dan abstain saja karena terlalu sibuk dengan urusan sendiri sehari-hari, atau apakah masyarakat justru menentang karena yakin bahwa Indonesia mampu surplus beras. Sesuatu yang nampaknya pasti akan terjadi adalah bahwa impor akan jadi dilaksanakan jika masyarakat (dan anggota parlemen) tidak menentang secara berlebihan atau jika argumen masyarakat kalah wibawa dengan keputusan sekelompok elit perumus kebijakan saja.

Instrumen Kebijakan

Untuk mencapai target besar surplus beras 10 juta ton tahun 2014 tersebut, pada tahun 2011 ini Pemerintah setidaknya telah mencanangkan tiga program besar dengan target kuantitatif sebagai berikut: pertama, optimalisasi saluran irigasi seluas 220 ribu hektare dan pembangunan irigasi baru dan rehabilitasi irigasi lama seluas 285 ribu hektare. Kedua, penyaluran pupuk bersubsidi 9,9 juta ton dan benih bersubsidi 165 ribu ton. Ketiga, pencetakan lahan sawah baru 110 ribu hektare.

Dalam bahasa rutin administrasi kebijakan pembangunan tanaman pangan, program-program yang dijalankan mengacu pada catur strategi pembangunan tanaman pangan, yaitu peningkatan produktivitas perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan penguatan kelembagaan dan pembiayaan. Selain itu, rencana kerja (proyek) yang disusun juga meliputi sekian macam rencana pendukung, seperti perbaikan riset dan pengembangan (R&D) bidang produktivitas, revitalisasi industri pertanian, penanganan rawan pangan, percepetan penganekaragaman konsumsi, penguatan kelembagaan koperasi petani, bantuan permodalan dan dukungan pemasaran produk koperasi dan usaha mikro kecil menengah (UMKM), dan sebagainya.

Template rencana aksi pun sebenarnya sudah dipersiapkan secara rutin setiap tahun, yang berbeda mungkin adalah besaran anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana aksi tersebut. Misalnya, peningkatan produktivitas ditempuh melalui upaya pengolahan lahan, peyediaan benih unggul bermutu, pengembangan cara tanam, manajemen pengairan, pemupukan berimbang dan organik. Perluasan areal tanam ditempuh melalui program optimalisasi lahan, pencetakan sawah baru, jaringan irigasi tersier usahatani (JITUT), jaringan irigasi desa (JIDES), pengembangan pompa, sumur dan embung penampunagn air, dan konservasi lahan.

Pengamanan produksi ditempuh melalui pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), pengembangan dan antisipasi dampak perubahan iklim, pengembangan penanganan pasca panen, dan pengembangan lumbung dan gudang pangan. Penguatan kelembagaan dan pembiayaan meliputi pengembangan pasar, kelompok tani dan gabungannya serta koperasi pertanian, penangkar, kios sarana produksi, unit pelayanan jasa alat dan mesin pertanian  (UPJA), pelayanan penyuluhan, perbenihan, dan perlindungan, asosiasi petani, lembaga swadaya masyarakat, termasuk kontak tani nelayan andalan (KTNA) dan himpunan kerukunan tani Indonesia (HKTI), lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat (LM3), lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM). Pembiayaan kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE), kredit usaha rakyat (KUR), kemitraan usaha kecil, menengah dan koperasi, dan sebagainya.

Di luar program-program rutin tersebut, pemerintah juga berupaya mendirikan Konsorsium badan usaha milik negara (BUMN) yang akan melakukan penguatan produksi dan cadangan pangan nasional. Lima BUMN pangan, yakni PT Pertani, PT Sang Hyang Seri (SHS), PT Pupuk Sriwidjaja (Holding), PT Perhutani, dan Perum Bulog berencana mengelola lahan 570 ribu hektare yang disewa dari petani. Walaupun kelanjutan program sewa lahan petani ini masih samar-samar, esensinya adalah bahwa langkah konsolidasi lahan itu kemungkinan besar memobilisasi modal produksi pangan yang diambil dari dana corporate social responsibility (CSR) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dari BUMN tersebut.

Apa pun strategi yang ditempuh, tampaknya Konsorsium BUMN pangan itu perlu bekerja keras, melakukan pendekatan dengan segenap jajaran pemerintah daerah melalui Kementerian Dalam Negeri. Perusahaan negara itu perlu lebih membumi, menyelami permasalahan lapangan bidang produksi pangan, mempelajari perkembangan literatur terbaru tentang inovasi dan perubahan teknologi pertanian dan pangan, dan mendidik petugas/penyuluh lapangan yang tangguh. Langkah konsolidasi lahan petani itu jelas bukan persoalan transaksi moneter biasa, tapi lebih berupa pembangunan modal sosial atau rasa saling percaya antarkomponen bangsa dan stakeholders bidang pangan.  

Upaya konsolidasi lahan oleh Konsorsium BUMN pangan perlu dilihat sebagai komplemen (bukan substitusi) dari program-program peningkatan produksi pangan yang selama ini dijalankan birokrasi. Maksudnya, Pemerintah masih perlu bekerja keras untuk membangunan kompatibilitas pembangunan pertanian dengan skema desentralisasi dan demokrasi. Ketika para elit daerah tidak menjadikan isu pertanian dan pangan sebagai driver dalam pencitraan popularitas dan pembangunan konstituen – dibandingkan isu pendidikan dan kesehatan gratis – secara hakikat agak sulit berharap inovasi pembangunan pertanian akan lahir dari daerah.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta para stakeholders lain yang menggeluti aspek governansi pemerintahan memiliki tanggung jawab moral untuk membalik kondisi di atas. Misalnya, tradisi keberlanjutan dan kearifan lokal pengelolaan lahan yang sangat kaya dan beragam di seantero negeri dapat dimobilisasi sebagai pressure pintu masuk inovasi pembangunan pertanian di daerah. 
                                                                      ****
Kasus anekdotal kebijakan pencapaian target 10 juta ton beras itu hanya satu contoh saja dari sekian banyak kebijakan pertanian yang tidak secara baik menggunakan bukti-bukti empiris dan basis ilmu pengetahuan (evidence-based) dalam perumusan, organisasi dan implementasi kebijakan di lapangan. Demikian pula, kualitas governansi ekonomi yang melingkupi kebijakan pertanian secara umum juga tidak terlalu baik, sehingga konsistensi dan kinerja peningkatan kesejahteraan petani, kinerja efisiensi dan pertumbuhan ekonomi atau keberlanjutan pembangunan sulit tercapai dengan baik pula. Kualitas governansi yang muncul ke permukaan juga jauh dari prinsip-prinsip keterbukaan dan kesetaraan, karena vested interests dan perburuan rente ekonomi jangka pendek terkadang terlalu telanjang.

Benar bahwa dalam setiap kebijakan pembangunan selalu terdapat pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan, selain dari tujuan-tujuan yang ditetapkan secara formal dalam kebijakan tersebut, selain dari para aktor yang dengan sengaja menjadi penumpang gelap dan meraup rente ekonomi dan rente politik yang demikian menggiurkan. Kalau pun terdapat satu-dua kebijakan pembangunan pertanian yang secara akademik logis dan rasional, namun di lapangan kebijakan yang bagus tersebut seperti amat sulit untuk dilaksanakan. Sebaliknya, apabila terdapat satu-dua kebijakan pembangunan pertanian yang kelihatan berhasil di lapangan, terkadang kebijakan tersebut tidak dilalui suatu proses analisis ex-ante, modeling atau simulasi kebijakan dengan basis kuantitatif yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Varian dari hal tersebut di atas adalah bahwa cukup banyak inovasi dan inisiatif brilian yang dilakukan masyarakat madani atau tokoh masyarakat atau pelaku swasta yang terkadang jauh bervisi ke depan dan berpotensi mampu mengubah dunia. Di sinilah para perumus dan pelaksana kebijakan alias birokrasi pemerintah perlu belajar banyak dari inspirasi, ketekunan dan keseriusan dari salah satu aktor pembangunan itu merancang, menjalankan dan melaksakan gagasan dan mimpinya, sehingga menjadi kenyataan dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Akhirnya, target-target produksi pertanian seperti pada kasus pencapaian surplus 10 juta ton beras akan dapat tercapai apabila dilakukan langkah-langkah operasional kebijakan yang lebih efektif, minimal dalam hal perbaikan manajemen usahatani padi, peningkatan produktivitas dan inovasi kelembagaan wajib diteruskan dan diperbaiki sesuai dengan tuntutan zaman, termasuk mengakomodasi dan memanfaatkan kearifan lokal, yang umumnya kompatibel dengan strategi keberlanjutan pembangunan ekonomi secara umum di Indonesia.

Prof Dr Bustanul Arifin, Ekonom INDEF-Jakarta
Sumber : http://www.metrotvnews.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar